Sabtu, 08 Agustus 2015

Kidungan dan Bau Kemenyan di Malam Jum’at Kliwon Tempo Doeloe

Sumber:  http://ift.tt/1MZVYkk

Di Pemalang jaman saya masih anak-anak, hingga lulus SD, setiap malam Jum’at Kliwon sering terdengar kidungan dhandhanggula macapat dilantunkan oleh para kakek.    Meski suaranya parau, namun lumayan indah mengisi suasana sepi.     Dalam pengertian anak-anak ketika itu, kidung Sunan Kalijaga itu adalah tolak bala untuk mengusir jin dan setan.     Karena memang terucap di salah satu kalimat kidung tersebut.     Diiringi bau kemenyan yang cukup menyengat disana-sini, terasa semakin menambah wibawa dan kharisma kidung tersebut.   Terbayang seolah lantunan itu suara Kangjeng Sunan Kalijaga beneran dan membuat para iblis terbirit-birit lari ketakutan.      Yaaah… namanya juga anak kecil.     Terlebih memang suasananya menuntun pemikiran ke arah itu.     Karena hari Kamis Wage sorenya, masyarakat ramai bersih-bersih rumah, pekarangan dan kuburan.      Kaum ibu bersih-bersih rumah dan pekarangan.     Sedangkan kaum ayah, termasuk ayah saya, bersih-bersih makam leluhur di taman-taman pemakaman sambil menaburkan bunga.      Anak-anak cowok, termasuk saya umumnya ikut ayah.     Disana muncul pengertian, jin dan setan yang ada di kuburan menjadi gelisah karena makluk-makluk tersebut tidak menyukai kebersihan.

Setiap satu makam bersih, lantas diakhiri dengan mengirim do’a.      Umumnya, acara mengirim do’a diiringi dengan membakar kemenyan.       Ayah saya juga membakar kemenyan.        Bahkan ketika mendapat giliran berdo’a, saya selalu diingatkan ayah untuk tidak menambah kemenyan, dengan alasan takut ada yang nggak kebagian.     Memang tangan saya suka usil menambahkan culian kemenyan, karena sangat menikmati proses terbakarnya kemenyan, pretek-pretek-pretek …       Ketika saya menanyakan kenapa harus membakar kemenyan, ayah menjelaskan bahwa kemenyan itu wangi seperti halnya bunga-bunga yang ditaburkan, dan wewangian itu kesukaan malaikan dan dibenci setan.     Jadi supaya do’a yang kita panjatkan tidak diganggu setan, tempat berdo’a kita bikin wangi.      Dari situ makin kuat pengertian bahwa setan-setan kuburan berlarian meninggalkan kuburan.    Kemana mereka lari?     Tak lain ke hutan.    Tapi bukan mustahil ada yang nyasar ke kampung yang jorok.

Sepulangnya dari makam, lantas mandi.     Menjelang magrib, para ayah, termasuk ayah saya, membakar kemenyan lagi dan asapnya diedarkan ke seluruh ruangan dan terakhir dibawa keliling rumah.       Bayangkan setiap rumah begitu, sehingga satu kampung itu benar-benar pekat dengan bau kemenyan.      Dalam hati; “naah luh … para iblis mau lari kemana?… disana-sini dicegat dengan bau kemenyan ha ha ha”.      Terlebih di malamnya, selepas isya, terdengar lantunan kidung Sunan Kalijaga, wah habislah sudah ruang gerak para iblis yang akan mengganggu manusia.      Sedemikian terbawanya angan-angan saya sampai kadang terbawa mimpi melihat iblis berlarian karena lantunan kidung dan bau kemenyan.

Berikut ini kurang-lebih lantunan kidung Mantrawedha Sunan Kalijaga tersebut.

Namun, begitu memasuki kelas 4 SD, mulailah ada pelajaran agama.      Sebelumnya tidak ada pelajaran agama di sekolah.     Anak-anak belajar agama hanya dengan ngaji ke rumah ustadz 2 hari sekali.      Bagi ortu yang lebih menekankan agama, anak-anaknya diharuskan sekolah madrasah sore.     Saya tidak termasuk.

Rupanya pelajaran agama itulah yang sangat berperan dalam melumpuhkan budaya kemenyan.     Guru agama selalu menegaskan bahwa berdo’a tidak perlu membakar kemenyan.    Justru kemenyan itulah yang menghadirkan setan.      Namanya anak-anak, tentu sangat percaya pada guru.      Lantas maulailah banyak ayah yang diprotes anaknya ketika membakar kemenyan.     Saya tidak termasuk.     Mungkin karena pengertian bahwa iblis tidak suka wewangian sudah demikian menggigit hingga sering terbawa mimpi, sehingga omongan guru tidak ngaruh.

Ternyata pengaruh pelajaran agama cukup cepat.    Dalam kurun waktu yang tidak terlalu panjang, saya masih duduk di SD, sengatan bau kemenyan di malam Jum’at Kliwon terasa terkikis.     Taman-taman pemakaman masih bertahan.     Tapi di rumah-rumah mulai banyak yang tidak membakar kemenyan.     Rumah ortu saya masih.      Bahkan saya masih suka nambahin jika baunya kurang menyengat.     Maklum ada beberapa tetangga yang tidak lagi membakar kemenyan.     Sementara suara kidung masih tetap terdengar selepas isya, meski bau kemenyan tidak lagi menyengat.

Namun, begitu beranjak remaja (masuk SMP), kidungan semacam itu makin jarang terdengar.      Terlebih setelah Mbah Aris tiada, boleh dibilang tidak pernah lagi terdengar lantunan kidung Sunan Kalijaga tersebut.     Rupanya hanya beliaulah yang benar-benar mumpuni soal kidungan itu, baik melantunkannya maupun menata acaranya.     Sehingga begitu beliau tiada, kakek-kakek yang lain kurang pe-de menggantikannya.      Sementara bau kemenyan pun makin tidak lagi tercium di setiap malam Jum’at Kliwon.

Ketika itu, saya duduk di SMP Negeri 1 Pemalang, yang terletak bersebelahan dengan Pendopo Kabupaten Pemalang.     Teman-teman saya kebanyakan dari Kampung Arab, Payaman dan KebonDalem.     Ternyata masyarakat disana memang tampak sangat anti dengan budaya kemenyan.     Guru-guru agama pun bahkan mengatakan bahwa budaya membakar kemenyan adalah budaya animisme.     Saya mulai agak terpengaruh.     Maklum namanya anak-anak, sebearapapun teguhnya pendirian, tetap saja mudah tersapu oleh opini publik.    Sehingga ketika di rumah ayah tidak membakar kemenyan, mungkin pas beli tidak ada, saya pun tidak lagi protes.      Makin banyak anak kampung, adik-adik kelas saya, yang bersekolah ke kota, makin deras arus paham masyarakat kota mengalir ke kampung.     Maka makin terdesaklah budaya membakar kemenyan.     Ketika saya masuk SMA, boleh dibilang, tidak pernah lagi tercium bau kemenyan dj kampung, selain sesekali di rumah ortu.     Itupun tidak lagi disiplin setiap malam Jumat Kliwon.    Mungkin hanya jika pas ibu ke pasar dan kebetulan melihat ada yang jual kemenyan.

Setelah saya dewasa dan merantau puluhan tahun, kadang rindu situasi kidungan dan bau kemenyan yang pernah saya rasakan dulu.      Saking rindunya, saya berusaha mencari naskah kidungan tersebut.     Memang hadirnya mbah Google banyak menolong.     Namun kebanyakan yang ada di internet, baik yang berupa naskah maupun lantunan kidung, rupanya kebanyakan tulisan lagu berdasarkan ingatan, bukan naskah baku.      Sehingga kadang satu sama lain berbeda.     Lagi pula kebanyakan tidak diartikan.     Mungkin karena tidak tahu artinya.    Maklum, bahasa Jawa Baku sekarang tidak lagi masuk dalam kurikulum sekolah.     Sehingga tidak aneh orang Jawa tapi tidak tahu bahasa Jawa.

Hal itu menantang saya untuk terus mencari dan mencari.     Memang naskah baku tentang kidung Sunan Kalijaga belum saya temukan.    Tapi beberapa salinan yang lebih saya percaya sudah saya kaji.     Demikian pula dengan bahasa Jawa Baku, harus saya pelajari lagi, meski dulu sudah pernah saya pelajari dari SD hingga SMP.     Setidaknya membantu dalam memilih tafsir yang lebih relevan.

Misalnya, kata “arka” dalam pupuh ke 3 sbb:

Pagupakaning warak sakalir,
nadyan
arka myang segara asat,
temahan rahayu kabeh,
apan sarira ayu,
ingideran mring widadari,
rineksa malaikat,
sakathahing rasul,
pan dadi sarira tunggal,
ati Adam uteku Baginda Esis,
pangucapku ya Musa.

Banyak saya temukan di internet kata “arka” ini ditulis atau bahkan ditambangkan sebagai “arca”. Sehingga sangat sulit ditafsir maksudnya. Wong arca kok bikin lautan mengering? Arca macam mana yang bisa bikin lautan mengering? Lagi pula wayang saja yang semula golek (boneka kayu), oleh Sunan Kalijaga dirubah menjadi karikatur berbahan kulit demi mengurangi kemiripan dengan manusi untuk menghindari efek kultus dan syirik. Masa beliau malah menggubah lagu menggunakan istilah arca. Maka berkutatlah saya untuk menemukan kebenaran dari istilah itu.

Akhirnya saya temukan catatan di rumah, mungkin milik ayah saya, dan ternyata tidak ada kata “arca” disana. Yang ada “arka”. Barulah saya bisa mentafsirkan. Arka dalam bahasa Jawa adalah sinonim matahari. Sehingga kalimat Pagupakaning warak sakalir, nadyan arka myang segara asat, temahan rahayu kabeh, dapat diartikan “tempat berkubangnya badak (yang amat jorok) serta sengata teriknya matahari yang seolah mampu mengeringkan laut, senantiasa malah membawa kenyamanan”. Yang dimaksudkan adalah betapa ampuhnya doa penolak bala dalam kidung itu sehingga jika kita sudah pasrah sabar dan syukur, maka betapapun pengapnya situasi, kita bisa mengabaikannya, bahkan merubahnya menjadi rasa nyaman dan tenteram.

Contoh berikutnya istilah “ping sawelas” pada pupuh 7 sbb:

Lamun ana wong kadhendha kaki,
wong kabanda wong kabotan utang,
yogya wacanen den age,
nalika tengah dalu,

ping sawelas wacanen singgih,
luwar saking kebanda,
kang kadhendha wurung,
aglis nuli sinauran,
mring Hyang Suksma kang utang puniku singgih,
kang agring nuli waras.

Banyak yang menuliskan dan melagukan “ping salawe”. Bahkah rata-rata baik yang “ping sawelas” maupun “ping salawe”, mengartikan ping adalah kali. Sehingga “ping sawelas” adalah sebelas kali, dan em>”ping salawe” artinya 25 kali. Saya merasa curiga soal perkalian ini. Karena jika kidung itu dilantunkan 11 kali, terlebih bagi yang memilih 25 kali, tentu akan memakan waktu yang cukup panjang. Padahal sebagai wali, tentu Sunan Kalijaga juga mengajarkan tahajud dan dzikir yang lain. Dimana kidung tolak bala ini hanya semacam pembukaan acara sembari untuk menanamkan rasa percaya diri dengan cara meyakini bahwa jika seseorang sudah muslim yang mukmin, maka seluruh tubuhnya sudah beraura para rasul dan sahabatnya.

Saya lantas menggalinya dari sisi bahasa. Kata “ping” memang artinya kali. Tetapi “ping” juga untuk menyebut jam, lengkapnya “tabuh kaping”. “Ping sawelas” artinya jam 11. Sedangkan “ping salawe” artinya jam 25. Sehingga saya simpulkan “ping salawe” pasti tidak benar. Yang benar adalah “ping sawelas”. Sehingga kalimat yogya wacanen den age, nalika tengah dalu, ping sawelas wacanen singgih dapat diartikan “segera bacalah, ketika tengah malam jam 11 bacalah dengan seksama”.

Hasil kajian kidung tolak bala Sunan Kalijaga ini selengkapnya saya tulis disini.

Posting Kidungan dan Bau Kemenyan di Malam Jum’at Kliwon Tempo Doeloe ditampilkan lebih awal di Jurnalisme Warga.



from WordPress http://ift.tt/1OYIT9i
via IFTTT

Kidungan dan Bau Kemenyan di Malam Jum’at Kliwon Tempo Doeloe Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Pantura Online

0 komentar:

Posting Komentar